Entah
angin apa yang membuatku ingin sekali untuk menulis tentang sosokmu yang selama
beberapa bulan terakhir mampu mengisi rongga hatiku dan menguasai saraf-saraf
di kepalaku ini. Sebenarnya aku enggan untuk mengutarakan semuanya. Bukan. Ini bukan
tentang aku yang ingin menyatakan perasaanku padamu. Itu terlalu berbahaya. Aku
tidak sebodoh itu. Karena aku belum siap untuk segala kemungkinan yang terjadi.
Hanya ada dua kemungkinan, kita semakin dekat atau kita akan jauh. Aku akan
bahagia atau akan terluka. Aku belum siap untuk kehilangan semua tentangmu. Aku
belum siap untuk menghadapi sikap dingin darimu. Aku belum siap jika suatu hari
nanti, aku yang merindukanmu semakin tidak tahu harus berbuat apa untuk
menghilangkan kerinduanku padamu. Karena dengan keadaan seperti ini saja, aku
masih enggan untuk menyapamu terlebih dahulu. Biarkan saja aku secara diam-diam
mendoakanmu dan tidak mengetahui semua kegiatanmu, agar aku semakin rindu
akanmu dan terus memikirkanmu. Silahkan saja untuk berlalu-lalang di pikiranku.
Kerahkan semua pasukanmu yang selalu menggelitik rongga kepalaku karena
mengingatmu. Kamu, pria berkacamata favorit keduaku setelah ayahku, kuberitahu
padamu, aku tidak akan mengganggu hari-harimu. Jika ingin melakukan apapun dan
dengan siapapun, silahkan saja. Karena, kamu tahu? Penyair dambaanku pernah
menegaskan “Jika kita berjodoh, walaupun hari ini dan di tempat ini tidak
bertemu, kita pasti akan dipertemukan dengan cara yang lain...” Dan aku percaya
akan hal itu. Jadi, ini tentang... Hmm.
Hanya ingin menulis bagaimana munculnya makhluk-makhluk aneh bernama cinta itu
bisa ada didiriku. Dan... iya, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih untuk
semuanya. Semuanya. Iya, apapun itu. Terimakasih banyak.
Kamu
tahu? Terkadang, aku suka sekali berdiri di depan cermin, berbicara sendiri
kepada pantulan diriku tersenyum membayangkanmu, terus menceritakan awal
perkenalan dan pertemuan sederhana kita. Kita. Aku dan kamu. Lucu ketika aku
mengingatnya kembali. Aku yang memang sudah mengagumimu sejak duduk di bangku
SMA, tak menyangka bahwa kita bisa seperti saat ini. Bukan. Bukan kita yang
memiliki hubungan secara resmi. Tetapi, kita yang bisa seakrab ini. Untuk bisa
mengenalmu saja aku sudah bersyukur. Ah, cerita ini terlalu membuatku bingung
untuk memulai dari mana. Kamu yang membuatku bingung. Terlalu banyak hal yang
ingin kuceritakan disini. Tapi, sepertinya tidak perlu. Biarkan ini menjadi
konsumsi pribadiku saja. Biarkan setiap momen yang aku alami bisa membuatku
tersenyum terus. Untukmu, terimakasih sudah membuatku menjadikan sosokmu itu
sebagai obat yang aku butuhkan... selalu. Bisa kita bertemu? Aku butuh
obatku...
Apakah
aku perlu menjelaskan secara rinci bagaimana aku bisa menyukaimu? Haruskah aku
menjelaskan bahwa aku sangat bahagia bisa mengenalmu? Haruskah aku menjelaskan
betapa sosokmu begitu mempengaruhi kehidupanku? Haruskah aku menjelaskan pada
dunia, bahwa aku ingin sosokmu ada dalam hidupku? Menjelaskan pada semua
ciptaanNya bahwa sosokmu itu begitu mengagumkan? Menjelaskan bagaimana setiap
api semangatmu juga ikut membakar semangat dalam diriku? Menjelaskan secara
detail bagaimana caramu membuatku tersenyum simpul ketika berbicara di dunia
maya itu? Menjelaskan bagaimana kau bisa mengubah hariku menjadi lebih baik,
ketika namamu muncul di salah satu media sosial yang terhubung denganku? Menjelaskan
bagaimana kau bisa masuk dalam hati dan pikiranku? Haruskah aku menjelaskan
mengapa namamu sudah kusebutkan dalam setiap doaku? Haruskah aku menjelaskan
apa yang aku rasakan ketika kau mulai menceritakan ada perempuan lain yang
merenggut perhatianmu? Haruskah aku menjelaskan bagaimana aku selalu memanggil
namamu setiap malam karena aku ketakutan, berharap kau mendengarnya dan bisa
hadir disampingku? Haruskah aku menjelaskan betapa inginnya aku untuk terus
berkomunikasi denganmu? Mengetahui keadaanmu? Mengetahui seluruh isi kepala dan
hatimu? Haruskah aku juga menjelaskan bagaimana jika rasa rindu mulai menyesak
di rongga dadaku dan aku tak tahu apa yang bisa kulakukan? Haruskah aku
menjelaskan bahwa aku ingin segera berlari ke tempatmu jika rasa rindu itu
tiba-tiba menghinggapi tubuhku? Haruskah aku menjelaskan bagaimana aku begitu
khawatir ketika aku tahu kau mulai merasa terbebani dengan semua tugas-tugas
kuliahmu dan mulai memaki dirimu sendiri? Haruskah aku menjelaskan padamu,
begitu besar keinginanku untuk menemanimu saat aku tahu kau begitu lelah dan mulai
menunjukkan tanda-tanda bahwa virus-virus jahat itu mulai menggerogoti tubuhmu?
Haruskah juga aku menjelaskan betapa aku sungguh sangat tidak suka dengan gaya
hidupmu yang mulai menerima kopi sebagai teman jika tubuhmu lelah? Haruskah aku
menjelaskan bagaimana-bagaimana yang lainnya?? Haruskah aku menjelaskan
betapapun kita sudah tinggal di kota yang sama, tetapi sampai sekarang satu
pertemuan pun tak kunjung menghampiri? Mungkin, tidak perlu. Cukup satu hal
yang harus kau tahu, sayang... Aku hanya rindu. Aku hanya ingin bertemu. Dengan
bertemu, lihat mataku, dan kau akan tau semua jawaban dari segala pertanyaan
yang butuh penjelasan itu.
Kamu tahu?
Bahkan sampai detik ini, aku masih sering tersenyum sendiri betapa sosokmu
begitu kukagumi dan ingin kudekati bahkan kumiliki. Terlalu egois sepertinya. Tidak,
tidak. Aku tidak akan jadi perempuan egois, perempuan yang melarangmu untuk
dekat pada siapapun, aku tidak seperti itu. Mungkin. Aku pun tidak menjamin akan
hal itu sebenarnya. Mengenalmu saja sudah lebih dari cukup bagiku. Aku hanya
ingin tahu, apakah aku pernah singgah dipikiranmu? Pernah menjadi orang yang
kau harapkan untuk bertemu? Pernahkah kau merasakan sama seperti yang aku
rasakan? Kamu pernah rindu aku?
Aku menulis
ini tujuannya seperti yang sudah aku utarakan tadi, hanya ucapan terimakasih. Kamu,
terimakasih sudah datang disaat yang tepat. Terimakasih sudah memulihkan
hatiku. Terimakasih sudah mampu mengubah hidupku. Terimakasih sudah mau menjadi penyemangat
dalam setiap masalahku. Terimakasih sudah bisa membuatku tersenyum. Terimakasih
selalu hadir disaat tak terduga. Terimakasih sudah memenuhi seluruh isi
kepalaku. Terimakasih sudah membuat aliran darahku mengalir dengan lancar. Terimakasih
sudah memberikan semangat untuk menggapai cita-citaku dan bisa sampai di kota
yang sama denganmu. Selamat! Kamu berhasil membuat aku jatuh dipelukanmu. Untuk
itu, aku juga harus bisa membuatmu jatuh dipelukanku. Terlalu kasarkah? Tidak. Ikuti
saja alurnya. Aku sendiri masih bingung kenapa aku harus dipertemukan denganmu?
Aku percaya, pasti ada suatu maksud dari ini semua. Ini bukan khayalan semata. Ini
fakta. Ini nyata. Ini bukan karangan hasil pemikiran para penulis tersohor di
dunia ini. Aku menyanyangimu. Aku suka caramu. Aku suka waktu bersamamu. Aku suka
semua tentangmu. Aku suka caramu untuk menenangkanku. Aku suka caramu
menghiburku. Aku suka dengan semua tingkah anehmu. Aku suka dengan sikapmu yang
justru membuat emosiku meningkat, tetapi kau berhasil untuk menggodaku
tersenyum lagi. Aku suka dengan semua kejadian tak terduga denganmu. Aku suka
perdebatan denganmu. Aku suka dengan percakapan kita. Aku suka pemikiranmu. Aku.
Suka. Kamu.
Harapanku
terlalu tinggi. Yang ada dalam pikiranku, tulisan ini bisa kamu temukan dan
kamu baca dalam waktu senggangmu ketika kamu penat dengan semua tuntutan hidup,
tersenyum ketika membaca ini semua, dan memiliki keinginan untuk segera bertemu
dengan perindumu ini. Boleh aku tertawa? Tidak mungkin kan ya? Turunkan sedikit
khayalan mu, perindu! Aku berdoa, dengan cara apapun Tuhan sampaikan rasa rinduku
untukmu. Karena aku sendiri tak tahu dengan cara apalagi aku bisa
mengungkapkannya. Yang aku tahu, pencipta ku mampu melakukan apapun diluar daya
pikirku. Bukankah pencipta kita sama? Berarti aku bisa sedikit berharap bahwa
rasa rinduku bisa sampai tepat padamu, bukan? Semoga!
Lagi-lagi aku menulis ini dengan perasaan
rindu yang semakin menggerogoti tubuhku. Tadi malam, kamu tahu? Aku sempat
terlelap dalam tidurku. Kemudian terbangun karena mimpi buruk yang
menghantuiku. Terlalu berlebihan memang jika kukatakan bahwa kata pertama yang
kusebutkan itu adalah namamu... Aku teringat kejadian kemarin malam, ketika
kamu yang menenangkanku saat ketakutan menghinggapi hidupku. Kala itu, aku
sedikit bingung, entah jenis minuman apa yang kau minum, sehingga bisa
melakukan hal seperti itu. Kita yang seperti biasa, selalu saja berdebat akan
hal apapun, kelihatan berbeda dengan caramu yang satu ini. Dan aku semakin suka
denganmu. Kamu bodoh atau aku yang bodoh, sih? Dan semalam, aku kembali
ketakutan, dan memanggil namamu kembali. Iya. Namamu. Bodohnya, itu sia-sia. Tentu
saja kau tidak akan datang dan menenangkan ku secara langsung. Cukup sudah aku
untuk semua ketakutan ini. Aku tahu, kamu merasakannya juga. Aku bisa
merasakannya. Tenanglah. Aku baik-baik saja disini.
Semoga rasa
rinduku ini bisa terobati dengan sesegera mungkin. Bagaimana pun caranya, pasti
akan ada saatnya kita bertemu di waktu yang tepat. Aku akan menunggu kejadian
itu. Bolehkah aku bertanya sesuatu? Apakah kau juga rindu aku? Semoga rinduku
juga menjadi rindumu. Terlalu banyak kata ‘semoga’ untukmu. Aku rindu... Kapan
kita bertemu? Terimakasih untukmu, yang kurindukan. Jangan terlalu sering
meminum teman barumu itu, jika lelah, aku disini, bersamamu, menunggu kabarmu,
menanti sapaan hangatmu, dan akan menemanimu dalam menggapai semua impianmu...
Perindumu
yang merindukan obat rindunya.