Rabu, 14 Desember 2016

Jadi, kapan kita bertemu?

                Entah angin apa yang membuatku ingin sekali untuk menulis tentang sosokmu yang selama beberapa bulan terakhir mampu mengisi rongga hatiku dan menguasai saraf-saraf di kepalaku ini. Sebenarnya aku enggan untuk mengutarakan semuanya. Bukan. Ini bukan tentang aku yang ingin menyatakan perasaanku padamu. Itu terlalu berbahaya. Aku tidak sebodoh itu. Karena aku belum siap untuk segala kemungkinan yang terjadi. Hanya ada dua kemungkinan, kita semakin dekat atau kita akan jauh. Aku akan bahagia atau akan terluka. Aku belum siap untuk kehilangan semua tentangmu. Aku belum siap untuk menghadapi sikap dingin darimu. Aku belum siap jika suatu hari nanti, aku yang merindukanmu semakin tidak tahu harus berbuat apa untuk menghilangkan kerinduanku padamu. Karena dengan keadaan seperti ini saja, aku masih enggan untuk menyapamu terlebih dahulu. Biarkan saja aku secara diam-diam mendoakanmu dan tidak mengetahui semua kegiatanmu, agar aku semakin rindu akanmu dan terus memikirkanmu. Silahkan saja untuk berlalu-lalang di pikiranku. Kerahkan semua pasukanmu yang selalu menggelitik rongga kepalaku karena mengingatmu. Kamu, pria berkacamata favorit keduaku setelah ayahku, kuberitahu padamu, aku tidak akan mengganggu hari-harimu. Jika ingin melakukan apapun dan dengan siapapun, silahkan saja. Karena, kamu tahu? Penyair dambaanku pernah menegaskan “Jika kita berjodoh, walaupun hari ini dan di tempat ini tidak bertemu, kita pasti akan dipertemukan dengan cara yang lain...” Dan aku percaya akan hal itu.   Jadi, ini tentang... Hmm. Hanya ingin menulis bagaimana munculnya makhluk-makhluk aneh bernama cinta itu bisa ada didiriku. Dan... iya, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih untuk semuanya. Semuanya. Iya, apapun itu. Terimakasih banyak.
                Kamu tahu? Terkadang, aku suka sekali berdiri di depan cermin, berbicara sendiri kepada pantulan diriku tersenyum membayangkanmu, terus menceritakan awal perkenalan dan pertemuan sederhana kita. Kita. Aku dan kamu. Lucu ketika aku mengingatnya kembali. Aku yang memang sudah mengagumimu sejak duduk di bangku SMA, tak menyangka bahwa kita bisa seperti saat ini. Bukan. Bukan kita yang memiliki hubungan secara resmi. Tetapi, kita yang bisa seakrab ini. Untuk bisa mengenalmu saja aku sudah bersyukur. Ah, cerita ini terlalu membuatku bingung untuk memulai dari mana. Kamu yang membuatku bingung. Terlalu banyak hal yang ingin kuceritakan disini. Tapi, sepertinya tidak perlu. Biarkan ini menjadi konsumsi pribadiku saja. Biarkan setiap momen yang aku alami bisa membuatku tersenyum terus. Untukmu, terimakasih sudah membuatku menjadikan sosokmu itu sebagai obat yang aku butuhkan... selalu. Bisa kita bertemu? Aku butuh obatku...
                Apakah aku perlu menjelaskan secara rinci bagaimana aku bisa menyukaimu? Haruskah aku menjelaskan bahwa aku sangat bahagia bisa mengenalmu? Haruskah aku menjelaskan betapa sosokmu begitu mempengaruhi kehidupanku? Haruskah aku menjelaskan pada dunia, bahwa aku ingin sosokmu ada dalam hidupku? Menjelaskan pada semua ciptaanNya bahwa sosokmu itu begitu mengagumkan? Menjelaskan bagaimana setiap api semangatmu juga ikut membakar semangat dalam diriku? Menjelaskan secara detail bagaimana caramu membuatku tersenyum simpul ketika berbicara di dunia maya itu? Menjelaskan bagaimana kau bisa mengubah hariku menjadi lebih baik, ketika namamu muncul di salah satu media sosial yang terhubung denganku? Menjelaskan bagaimana kau bisa masuk dalam hati dan pikiranku? Haruskah aku menjelaskan mengapa namamu sudah kusebutkan dalam setiap doaku? Haruskah aku menjelaskan apa yang aku rasakan ketika kau mulai menceritakan ada perempuan lain yang merenggut perhatianmu? Haruskah aku menjelaskan bagaimana aku selalu memanggil namamu setiap malam karena aku ketakutan, berharap kau mendengarnya dan bisa hadir disampingku? Haruskah aku menjelaskan betapa inginnya aku untuk terus berkomunikasi denganmu? Mengetahui keadaanmu? Mengetahui seluruh isi kepala dan hatimu? Haruskah aku juga menjelaskan bagaimana jika rasa rindu mulai menyesak di rongga dadaku dan aku tak tahu apa yang bisa kulakukan? Haruskah aku menjelaskan bahwa aku ingin segera berlari ke tempatmu jika rasa rindu itu tiba-tiba menghinggapi tubuhku? Haruskah aku menjelaskan bagaimana aku begitu khawatir ketika aku tahu kau mulai merasa terbebani dengan semua tugas-tugas kuliahmu dan mulai memaki dirimu sendiri? Haruskah aku menjelaskan padamu, begitu besar keinginanku untuk menemanimu saat aku tahu kau begitu lelah dan mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa virus-virus jahat itu mulai menggerogoti tubuhmu? Haruskah juga aku menjelaskan betapa aku sungguh sangat tidak suka dengan gaya hidupmu yang mulai menerima kopi sebagai teman jika tubuhmu lelah? Haruskah aku menjelaskan bagaimana-bagaimana yang lainnya?? Haruskah aku menjelaskan betapapun kita sudah tinggal di kota yang sama, tetapi sampai sekarang satu pertemuan pun tak kunjung menghampiri? Mungkin, tidak perlu. Cukup satu hal yang harus kau tahu, sayang... Aku hanya rindu. Aku hanya ingin bertemu. Dengan bertemu, lihat mataku, dan kau akan tau semua jawaban dari segala pertanyaan yang butuh penjelasan itu.
Kamu tahu? Bahkan sampai detik ini, aku masih sering tersenyum sendiri betapa sosokmu begitu kukagumi dan ingin kudekati bahkan kumiliki. Terlalu egois sepertinya. Tidak, tidak. Aku tidak akan jadi perempuan egois, perempuan yang melarangmu untuk dekat pada siapapun, aku tidak seperti itu. Mungkin. Aku pun tidak menjamin akan hal itu sebenarnya. Mengenalmu saja sudah lebih dari cukup bagiku. Aku hanya ingin tahu, apakah aku pernah singgah dipikiranmu? Pernah menjadi orang yang kau harapkan untuk bertemu? Pernahkah kau merasakan sama seperti yang aku rasakan? Kamu pernah rindu aku?
Aku menulis ini tujuannya seperti yang sudah aku utarakan tadi, hanya ucapan terimakasih. Kamu, terimakasih sudah datang disaat yang tepat. Terimakasih sudah memulihkan hatiku. Terimakasih sudah mampu mengubah hidupku.  Terimakasih sudah mau menjadi penyemangat dalam setiap masalahku. Terimakasih sudah bisa membuatku tersenyum. Terimakasih selalu hadir disaat tak terduga. Terimakasih sudah memenuhi seluruh isi kepalaku. Terimakasih sudah membuat aliran darahku mengalir dengan lancar. Terimakasih sudah memberikan semangat untuk menggapai cita-citaku dan bisa sampai di kota yang sama denganmu. Selamat! Kamu berhasil membuat aku jatuh dipelukanmu. Untuk itu, aku juga harus bisa membuatmu jatuh dipelukanku. Terlalu kasarkah? Tidak. Ikuti saja alurnya. Aku sendiri masih bingung kenapa aku harus dipertemukan denganmu? Aku percaya, pasti ada suatu maksud dari ini semua. Ini bukan khayalan semata. Ini fakta. Ini nyata. Ini bukan karangan hasil pemikiran para penulis tersohor di dunia ini. Aku menyanyangimu. Aku suka caramu. Aku suka waktu bersamamu. Aku suka semua tentangmu. Aku suka caramu untuk menenangkanku. Aku suka caramu menghiburku. Aku suka dengan semua tingkah anehmu. Aku suka dengan sikapmu yang justru membuat emosiku meningkat, tetapi kau berhasil untuk menggodaku tersenyum lagi. Aku suka dengan semua kejadian tak terduga denganmu. Aku suka perdebatan denganmu. Aku suka dengan percakapan kita. Aku suka pemikiranmu. Aku. Suka. Kamu.
Harapanku terlalu tinggi. Yang ada dalam pikiranku, tulisan ini bisa kamu temukan dan kamu baca dalam waktu senggangmu ketika kamu penat dengan semua tuntutan hidup, tersenyum ketika membaca ini semua, dan memiliki keinginan untuk segera bertemu dengan perindumu ini. Boleh aku tertawa? Tidak mungkin kan ya? Turunkan sedikit khayalan mu, perindu! Aku berdoa, dengan cara apapun Tuhan sampaikan rasa rinduku untukmu. Karena aku sendiri tak tahu dengan cara apalagi aku bisa mengungkapkannya. Yang aku tahu, pencipta ku mampu melakukan apapun diluar daya pikirku. Bukankah pencipta kita sama? Berarti aku bisa sedikit berharap bahwa rasa rinduku bisa sampai tepat padamu, bukan? Semoga!
 Lagi-lagi aku menulis ini dengan perasaan rindu yang semakin menggerogoti tubuhku. Tadi malam, kamu tahu? Aku sempat terlelap dalam tidurku. Kemudian terbangun karena mimpi buruk yang menghantuiku. Terlalu berlebihan memang jika kukatakan bahwa kata pertama yang kusebutkan itu adalah namamu... Aku teringat kejadian kemarin malam, ketika kamu yang menenangkanku saat ketakutan menghinggapi hidupku. Kala itu, aku sedikit bingung, entah jenis minuman apa yang kau minum, sehingga bisa melakukan hal seperti itu. Kita yang seperti biasa, selalu saja berdebat akan hal apapun, kelihatan berbeda dengan caramu yang satu ini. Dan aku semakin suka denganmu. Kamu bodoh atau aku yang bodoh, sih? Dan semalam, aku kembali ketakutan, dan memanggil namamu kembali. Iya. Namamu. Bodohnya, itu sia-sia. Tentu saja kau tidak akan datang dan menenangkan ku secara langsung. Cukup sudah aku untuk semua ketakutan ini. Aku tahu, kamu merasakannya juga. Aku bisa merasakannya. Tenanglah. Aku baik-baik saja disini.
Semoga rasa rinduku ini bisa terobati dengan sesegera mungkin. Bagaimana pun caranya, pasti akan ada saatnya kita bertemu di waktu yang tepat. Aku akan menunggu kejadian itu. Bolehkah aku bertanya sesuatu? Apakah kau juga rindu aku? Semoga rinduku juga menjadi rindumu. Terlalu banyak kata ‘semoga’ untukmu. Aku rindu... Kapan kita bertemu? Terimakasih untukmu, yang kurindukan. Jangan terlalu sering meminum teman barumu itu, jika lelah, aku disini, bersamamu, menunggu kabarmu, menanti sapaan hangatmu, dan akan menemanimu dalam menggapai semua impianmu...
                                                                            Perindumu yang merindukan obat rindunya.

                

Kamis, 10 Maret 2016

Hai ibukotaku! Aku rindu kamu.

Apa kabar kamu, Pangeran (ku)?
Sudah empat bulan lamanya aku berjuang sendiri untuk tetap bisa berdiri tegap dengan mata yang penuh kasih sayang setiap bertemu dengan mu dalam kondisi apapun bahkan saat kamu sedang bersama kekasihmu itu. Empat bulan mungkin waktu yang sebentar bagimu. Bagiku? Tak perlu kujabarkan semuanya. Aku tahu apa yang aku lakukan ini memang semuanya palsu. Aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum saat kamu masih terus menggodaku dengan guyonan lucu andalan mu. Padahal yang sebenarnya, bagian terdalam dan bagian paling dasar dari tubuhku ini sedang menangis. Menangis karena mengapa kau masih terus mengusik kehidupanku? Kenapa kamu masih peduli dengan keadaanku. kenapa kamu masih terus menghiburku saat kamu melihatku diam seribu bahasa? Kenapa kamu masih mau menatap mataku? Kenapa kamu masih terus memanggil namaku? Apa pentingnya aku dalam hidupmu? Tak tahu kan kamu? Hal semacam ini yang paling aku takutkan. Hal semacam ini yang paling aku benci. Hal semacam itu yang akan terus melukai ku. Melukai hatiku. Melukai tubuhkn. Aku semakin tersiksa dengan semua hal kecil yang kamu lakukan padaku. Padahal aku sudah berjanji pada alam, bahwa aku akan melupakanmu secepat mungkin. Tapi apa yang terjadi? Semua diluar dugaan ku. Kamu terus menjadi hantu dalam hidupku. Dan. Pangeran (ku),ada hal yang perlu kamu ketahui. Aku sangat terbantu jika kamu memang benar-benar menghilang dari dunia ku. Sungguh. 
Hampir setiap malam, suara merdu dari Nona Adele ini terus kubiarkan mengalun dalam ruangan tertutupku ini. Kubiarkan memenuhi kepalaku, membiarkannya mengalun disana sembari memutar kejadian singkat yang kita, di ralat, antara aku dan kamu yang dulu pernah terjadi, menyesakkan rongga dadaku, membiarkan dinginnya malam menyentuh kulitku, membiarkan air mata itu menari dipipiku. “Hold me like I’m more just a friend”... Terus berputar, berputar, dan membiarkan kalimat itu terus menetap disana. Aku masih teringat hari dimana kamu sudah merubah status lajang mu menjadi memiliki hubungan terikat dengan seorang gadis. Aku baru sadar bahwa satu hari sebelum kejadian itu merupakan malam terakhirku untuk berjuang mendekatimu. Dan jika aku tahu itu malam terakhirku, aku hanya ingin memintamu memelukku sebagai teman. Membiarkan aku mendekap erat tubuhmu untuk kubiarkan pergi dari hidupku.Ya, sebagai temanmu. Temanmu yang selalu siap untuk mendengarkan keluh kesahmu. Jika ada orang yang bertanya sampai kapan aku akan seperti ini? Maka jawaban ku sederhana saja. “Sampai dia benar-benar pergi dariku.” Kenapa? Ada yang salah? Tidak. Tidak ada yang salah dengan jawaban itu. Jika kalian berpikir aku akan semakin depresi jika dia benar-benar pergi, maka kalian salah besar. Sudah aku tegaskan di awal bukan? Aku sungguh berterimakasih jika dia pergi dari hidupku. Karena tidak akan ada lagi yang mampu mengusik kehidupanku. Tidak ada lagi wujud yang perlu kurindukan kehadirannya. Yakin? Pasti kalian juga bilang itu. Aku pun sebenarnya tak yakin dengan jawabanku itu. Mungkin aku sudah gila saat ini. Aku pun tak mengerti lagi dengan semua ini. Aku lelah dengan semua ini. Aku lelah dengan semua omong kosong ini. Aku lelah dengan semua bentuk kepalsuan ini. Aku lelah menjadi yang bukan diriku. Aku lelah untuk terus telihat baik-baik saja di depanmu. Aku lelah dengan semua persoalan ini. Aku lelah dengan semua kejadian bodoh ini. Aku hampir saja menjadi gadis abnormal karena ini. 
Ohiya, apa kabar kamu? Jangan terlalu serius baca tulisan bodoh ini. Aku lupa. Aku yakin bahwa tulisan ini pasti tidak akan pernah terjamah olehmu, bukan? Sudah kupastikan keadaanmu baik-baik saja. Kesehatan mu semakin baik, jadwal makan kamu juga sudah mulai teratur, aku sudah tidak menemukan kantung mata yang biasanya bertengger di mata kamu karena jadwal tidur kamu juga sudah teratur. Luar biasanya pengaruh gadis pujaanmu terhadap kehidupanmu. Seandainya kamu itu milikku, aku juga akan melakukan hal yang sama sepertinya. Aku akan membuat keadaan mu baik tanpa tekanan. Aku akan menjagamu layaknya kamu menjagaku. 
Jika aku bertemu dengannya,aku ingin mengucapkan terimakasih untuk gadismu itu. Terimakasih karena mau menjaga dan mengurusmu dengan kasih sayangnya. Teruslah seperti itu. Sampaikan padanya bahwa kamu akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padamu. Jangan buat dia kecewa. Jangan buat dia menangis. Jangan buat hidupnya sama seperti hidupku yang rapuh. Jangan hancurkan hatinya. Biarkan hatinya tetap utuh. Karena sekali retak, akan tetap retak dan takkan pernah utuh lagi. Walau sudah diperbaharui berkali-kali, tetap akan terlihat cacat. Kalian serasi. Yang satu ganteng wajahnya bagaikan hasil pahatan seniman terkenal dan yang satu lagi cantik, anggun layaknya putri dari kerajaan ternama di dunia ini. Katanya kalian mirip. Iya memang kalian mirip. Kalian cocok kok. Aku senang melihat kalian ketika jalan bersama. Aku senang ketika kalian makan bersama. Karena yang aku tahu kamu tidak pernah makan siang tepat waktunya. Jadi aku bersyukur jika kamu sekarang makin berisi. Hehehe. Sekali lagi kuucapkan terimakasih pada gadis pujaanmu itu. 
Lantas yang menjadi pertanyaan besar bagiku, kenapa kamu masih peduli dengan keadaanku. aku bisa melihat sorot mata mu yang bertanya-tanya jika aku diam. Apa pentingnya tingkah konyol yang kulakukan tanpa memakai otak itu? Apa ada yang salah jika aku diam? Kamu selalu berhasil untuk membuatku tertawa. Kamu selalu berhasil membuat emosi ku stabil kembali. Tapi kenapa? Apa alasan kamu melakukan itu semua? Apa yang menjadi alasan mu untuk tetap peduli padaku? Jawabannya. Karena aku adalah temanmu. Jawaban sederhana namun terkesan menyakitkan. Iya. Sebatas teman. Tak lebih dari teman. Apa salahnya peduli dengan teman, bukan? Haha. Iya. Kamu benar. Benar sekali. Kita ini teman. Sahabat. Aku paham itu. 
Maafkan atas sikap dinginku selama ini. Maafkan atas sikap tidak peduli ku pada kehidupan sekelilingku. Maafkan aku yang sering mengabaikan panggilanmu. Maafkan atas semua sikapku padamu... Lihatlah. Dalam keadaan seperti ini, aku masih tetap mengalah untuk meminta maaf padamu, te-man. Karena aku sedang berusaha keras untuk tidak mengejarmu lagi. Untuk tidak berlari lagi, karena aku sudah kalah. Susah rasanya untuk membiarkan kaki ini diam di tempatnya. Ingin terus berlari. Tapi apalah daya gadis bodoh seperti ku ini. Aku yang seharusnya dari awal menolak segala magnet-magnet dari tubuhmu, agar aku tak terjerumus ke hal yang salah. Aku yang salah. Aku akan terus menyalahkan kebodohan ku.Padahal sebenarnya tidak ada yang salah disini. Hanya aku yang terlalu berlebihan. 
Sudah lama tidak menulis tentang mu. Aku merindukanmu. Iya. Merindukan mu. Wujud mu dan wujud ku yang sebenarnya. Aku merindukan mu. Sampai bertemu di universitas yang akan aku dan kamu tuju. Aku masih tetap mencintaimu sama seperti aku mencintai ibukota, karena kamu akan terus menjadi ibukota di hatiku. Sampai bertemu di ibukota, Sobat! Panggilan baru dari aku untuk kamu. Sobat terdengar lebih baik mungkin. Aku menyayangimu, Tuan, Ibukota-ku, Pangeran-ku. Maafkan aku yang terlalu lancang dengan semua ini. Sekali lagi, Aku rindu kita yang tertunda. 


                                                                Dari salah satu rumah susun                                                                 sederhana yang ada di ibukota.                                                                            Aku sayang kamu.