Rabu, 27 Maret 2013

Blind Girl


“Perlu latihan lebih lagi untuk lagu ini. Hati dan pikiran Evelyn belum bisa bersatu untuk lagu ini. Ingat Evelyn, gunakan feeling kamu.” Kak Santi memberikan saran untuk latihan hari ini. Kak Santi adalah guru private piano ku. Sudah 1 tahun aku belajar untuk mampu mendalami alat music klasik ini. Tapi aku belum mampu memberikan yang terbaik untuk urusan ini.
“Kapan aku bisa menggunakan feeling-ku kak?? Aku buta! Butuh waktu lama untuk bisa seperti apa yang kalian harapkan.” Aku berteriak sambil menetaskan air mata karena aku begiru kesal dengan hari ini. Dari awal latihan hari ini aku sudah tidak semangat untuk memainkan piano. “Tapi, Evelyn hebat lho… Biasanya kalau orang yang kurang sempurna, butuh waktu bertahun-tahun untuk mampu mendalami sebuah alat music. Evelyn, kamu sudah 1 tahun belajar piano. Kamu mengalami kemajuan yang lebih baik daripada orang seusia kamu. Kamu hebat… Kak Santi bangga bisa mengajari Evelyn.” Dengan tersenyum lebar sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi mungil ku.
Jujur saja, waktu Kak Santi berkata seperti itu aku kembali punya semangat baru untuk bisa berkarya di bidang music walaupun keadaanku yang memang kurang sempurna.            
            Sepulangnya Kak Santi dari rumahku, aku kembali berlatih lagu yang memang menurutku sulit. Didampingi mama ku tersayang, aku berlatih dengan penuh semangat. Mama juga seorang penyanyi yang memang aku akui memilki kualitas vocal yang sempurna. Tetapi sayang, Mama tidak mau berkembang di dunia musik Indonesia. Mama hanya pernah bilang, “Mama memang tidak akan pernah menyentuh dapur rekaman tetapi Mama akan memberikan seluruh ilmu yang Mama miliki kepada anak Mama.” Dan apa yang Mama bilang memang benar, Mama memberikan aku ilmu tentang menyanyi. Aku bangga punya Mama seperti beliau. Mama selalu menerima kekuranganku, selalu mendampingiku, selalu menjagaku, selalu memberikanku semangat. Dia, Mama yang habet.
            Malam itu sebelum aku tidur, tanpa ku sadari air mataku menetes. Terlintas dipikiran ku mengenai kecelakaan yang menyebabkan kebuataan ini. Iya, memang benar, kebutaanku ini karena kelalaian Papa ku sendiri. Tapi sampai detik ini aku tidak pernah menyalahkan Papa. Dan sampai saat ini juga aku masih menunggu kehadiran Papa untuk melihat keadaanku.
            Kejadian itu berawal ketika kami sekeluarga, Papa, Mama, aku, dan adikku Tania akan mengahabiskan waktu akhir pekan kami ke Puncak Bogor. Awal perjalanan, semuanya lancar dan aman-aman saja. Tetapi, seketika perjalanan yang direncakan akan indah itu berubah menjadi musibah yang berakibat fatal. Papa, sebagai pengemudi mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Mama sudah meperingatkan Papa utnuk tidak mengendarai dengan kecepatan tinggi karena jalan yang dilalui itu berliku-liku. Namun Papa tetap bersikeras mengendarai dengan kecepatan yang tidak normal dijalan yang mengerikan itu. Alhasil, Papa kehilangan kendali saat sebuah bus pariwisata datang dari arah yang berlawanan yang pada waktu itu dalam posisi jalan yang berkelok-kelok. Dari kejadian itu, mobil yang kami gunakan terperosok ke semak-semak dan menabrak pohon besar sementara bus pariwisata itu masuk ke dalam jurang. Yang lebih menyedihkan lagi, aku kehilangan adik tersayangku untuk selamanya. Tania tewas ditempat karena pada saat itu Tania dan aku duduk didepan yang menyebabkan kepalanya terbentur keras ke pintu mobil. Pada saat itu Tania sudah berumur 5 tahun. Tetapi nasibku berbeda dengan adikku sendiri. Mataku terbentur ke bagian depan dimana aku duduk. Saat itu mataku mengeluarkan darah yang begitu banyak dan aku masih tetap sadar. Mama yang dalam keadaan selamat segera meminta pertolongan kepada warga yang tinggal di daerah setempat. Sesegera mungkin aku, adikku, dan Papa dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Papa hanya mengalami luka kecil dibagian kepala dan Mama dalam keadaan selamat tapi batinnya tersiksa atas kejadian ini. Aku saat itu juga harus dioperasi dan saat itu juga aku harus merelakan untuk tidak bisa melihat indahnya dunia untuk selamanya. Adikku, Tania langsung diperiksa dan diberikan formalin. Dan pada saat itu juga Tania dimakamkan. Aku yakin, Mama pasti dalam keadaan sedih sekali harus kehilangan Tania untuk selamanya dan juga harus menerimaku yang buta ini.
           
Rumah Sakit Dr. Supomo, menjadi tempat ku saat itu dalam menjalani masa pemulihan dari operasi mata. Aku bertanya pada Mama, “Ma, Papa mana? Kok mulai dari kemarin tidak datang melihat dan menjaga Evelyn??” “Eee… Papamu udah…Papa lagi… Lagi…” Mama berbicara tersendat-sendat seperti tidak tahu bagaimana mengatakan yang sebenarnya. “Papa kenapa, Ma?? Papa dimana, Ma?? Papa sehat kan??” Aku berkata dengan agak sedikit berteriak. “Papa mu sehat , Evelyn. Tapi Papa mu pergi meninggalkan kita begitu saja. Papa pergi, Evelyn, Papa pergi.” Mama menjelaskan dan meneteskan air mata dengan derasnya. Aku terkejut mendengar penjelasan Mama. Ingin rasanya aku berlari untuk mencari dimana Papa. Aku tahu bahwa keadaanku sudah tidak bisa melihat lagi tetapi kenapa Papa pergi meninggalkan kami begitu saja? Itu masih pertanyaan besar bagiku sampai saat ini.
            Dan kejadian itu akan terus terukir jelas di pikiranku sampai aku akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Aku tidak akan pernah membenci Papa-ku sendiri.
            5 tahun sudah aku menjalani kehidupan sebagai tuna netra. Aku juga sudah bisa berinteraksi dengan orang disekelilingku dengan baik walau masih banyak orang yang selalu meremehkan keadaanku. Aku bersekolah di Sekolah Luar Biasa Cinta Kasih. Dan sekarang umurku sudah menginjak 14 tahun. Guru dan teman-teman ku juga sudah mengenalku dengan baik. Mereka bisa menerima keadaanku dan aku juga bisa menerima keadaan teman-teman ku yang lain. Aku juga bisa dibilang memiliki prestasi yang cukup baik, baik itu dalam pendidikan pelajaran maupun dalm hal bakat. Sehingga aku bisa mengobati rasa kesedihan Mama yang selama ini mungkin masih terngiang dibenaknya.
            Sejak umur 13 tahun, aku sendiri yang memang menginginkan untuk bermain piano. Dan Mama juga mendukung hal tersebut. Oleh sebab itu aku mengikuti kursus piano dengan Kak Santi atau yang biasa aku panggil Kak Cantik. Memang aku tidak bisa melihat paras wajahnya, tapi aku bisa melihat ketulusan dan kesabarannya mengajariku piano begitu cantik. Sudah banyak hal yang aku pelajari dari Kak Cantik mulai dari teknik dasar bermain piano sampai cara mengalunkan melodi dengan perasaan.
            Siang hari, seseorang datang dan mengetuk pintu rumahku.. Mama membuka pintu dan ternyata yang datang adalah Kak Cantik. “Ayo, masuk.” Mama mempersilahkan Kak Cantik masuk. Aku mendengar suara Kak Cantik dari kamar yang sedang berbicara dengan Mama. Aku keluar kamar dengan menggunakan tongkatku sebagai penunjuk jalan dan menyapa Kak Cantik, “ Lho, Kak Cantik… Kan hari ini bukannya jadwal les, Kakak kok dating??” “Sini duduk deh… Ada yang mau kakak jelasin nih… Mau denger gak?? Penting lhoo..” Kak Cantik berkata. Tangan Kak Cantik memegang pergelangan tanganku dan menuntunku untuk duduk disampingnya. “ Gini adikku, Kakak mau mengajak kamu untuk ikut kompetisi. Kita ikut kompetisi ini bukan untuk mencari menang kalah nya ya sayang. Kita pengen tahu sejauh apa sih Evelyn bisa berkarya di dunia musik. Kakak akan dampingi deh… Kompetisinya tanggal 25 Januari ini sayang. Evelyn kan juga jago nyanyi, gimana kalau Evelyn nyanyi sambil main piano… Pasti keren. Kakak daftarin yah…” Kak Cantik menjelaskan mengenai tujuan kedatangannya. “Iya Evelyn, Mama selalu dukung Evelyn deh. Menag Kalah itu nomor dua. Yang penting kita udah mencoba.” Mama memberikan semangat.”Boleh kak…” Aku hanya menjawab singkat sambil tersenyum.
            Keesokan harinya, Kak Cantik dating kerumah karena memang hari ini jadwal untuk les piano. Dengan semangat Kak Cantik  berlari ke piano karena aku sedang duduk di kursi dan memainkan lagu “I Believe I Can Fly”. Seketika itu juga Kak Cantik diam berdiri kaku tepat disampingku. Selesai bernanyi dan memainkan piano, Kak Cantik bertepuk tangan dan langsung memeluk dan mencium pipiku. Aku merasa pipi Kak Cantik basah. Aku bertanya “Kak Cantik kenapa?? Kenapa pipinya basah?? Kakak nangis? Ada yang salah yah dengan Evelyn?” “Kamu sempurna, Evelyn. Kakak bangga punya murid dan adik seperti kamu. Kakak gak nyangka, Evelyn udah bisa memainkan lagu ini dengan baik. Suara Eveln juga bagus. Oh ya, ini formulir kompetisinya yah… Sekarang kita latihan untuk kompetisinya. 10 hari lagi kompetisi akan berlangsung. Evelyn mau nyanyi apa??” Kak Cantik menjelaskan apa yang ada dipikiranya saat itu. “Evelyn boleh gak bawain lagu yang tadi kak?? Evelyn pengen nyanyi dan main piano dengan lagu itu kak. Boleh yah kak?” Aku menjawab pertanyaan Kak Cantik. “Kamu yakin bisa dengan lgu itu kan? Kakak akan bantu untuk memaksimalkan penampilan nanti kalau kamu yakin akan membawakan lagu itu.” Jawab Kak Evelyn dengan semangat.
            Selama 9 hari aku belatih dengan giat dan tekun untuk kompetisi ini. Aku ingin membahagiakan Mama ku dan juga Kak Cantik yang sudah aku anggap sebagai Kakak kandungku sendiri. Dan tepat tanggal 25 Januari, kompetisi pun tiba. Aku sudah siap untuk penampilan ini. Walaupun gagal aku sudah siap untuk menerimanya. Pengambilan nomor urut pun dilaksanakan. Aku mendapat nomor urut ke 3. Peserta terdiri dari 50 orang. Dengan komentator ada 3 orang yang mereka semua merupakan musisi kelas atas tanah air Indonesia. Mendengar peserta 1 dan 2 mengalunkan suara mereka membuat aku menjadi nervous tiba-tiba. Tetapi Mama dan Kak Cantik tetap mendukung ku dengan semangat. Dan sekarang giliranku untuk menampilkan penampilan ku. Menurut cerita Mama, awalnya para komentator memasang wajah yang agak cuek tetapi setelah melihat dan mendengar penampilan ku, mereka menjadi terpukau. Pada saat komentator menyampaikan komentarnya, hampir mereka bertiga berkata bahwa “Kekurangan kamu bisa ditutupi dengan kelebihan kamu. Kamu perfect.”  Jujur pada saat itu, aku sudah cukup puas akan komentar tersebut.
            Setelah mendengar kontestan lainnya, para komentator melakukan perundingan untuk siapa yang memang pantas untuk menang. Setelah menuggu selama lebih kurang 45 menit, ke-3 komentator mengumumkan nama pemenang. Gugup dan cemas memang ada dalam pikiran dan hatiku. Mulai dari pemenang ke 5 diumumkan. Hingga urutan ke 2, nama ku juga belum disebutkan. Aku sudah pasrah , tetapi Mama dan Kak Cantik tetap yakin bahwa akulah pemenang dari kompetisi ini. “Dan pemenang pertama pada kompetisi ini jatuh kepada…………. Selamat buat EVELYN PUTRI GRACE.” Komentator menyebutkan nama pemenang pertama dan yang disebutkan itu namaku. Aku, Mama, dan Kak Cantik berpelukan, dan aku naik ke atas panggung untuk menerima penghargaa dan hadiah.
            Setelah itu, Mama memelukku begitu erat dan berbisik kepadaku, “Mama bangga punya Evelyn.” Mama kedengarannya menangis tersedu-sedu. “Kemenangan ini Evelyn persembahkan buat Tania dan juga Papa.” Aku menangis dan berkata.  Hari ini tepat 5 tahun Tania meninggalkan dunia ini. Kak Cantik pun memelukku dan berkata, “Lanjutkan perjuangan Evelyn yah. Jangan cepat puas dengan apa yang sudah Evelyn dapat. Berikan yang terbaik dan bernyanyi dan bermain piano lah dari lubuk hatimu yang paling dalam.” Kembali aku meneteskan air mata dan menganggukkan kepala.
            Saat Evelyn berumur 25 tahun…
            Sekarang Evelyn sudah menjadi musisi yang terkenal di Indonesia.  Dan sampai sekarang cuma 1 hal yang belum didapatkannya. Yaitu kehadiran seorang Papa kembali dalam hidupnya. Tetapi dalam benaknya sudah tertanam jelas” Aku hidup untuk membahagiakan kedua orang tua ku. Aku akan bahagiakan mereka lewat ke 10 jemari kecilku. Dan lewat suaraku juga aku akan membahagiakan mereka.”
THE END
 Terimakasih semua yang udh membaca. Dilarang mengcopy paste yah :) hehe :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar